Oleh Ummi Hj. Zuhriyah
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Didalam Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 menyebutkan,“Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air. [1]
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama, yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi derifatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengan dipersiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb). [2]
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor di Hongkong itu, Korea Selatan memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat dibawah Vietnam.[3]
Kondisi ini menunjukkan adanya hubungan yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan dengan kualitas pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang dihasilkan selama ini, meskipun masih banyak faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pembaharuan yang meliputi landasan yuridis, kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan dan tenaga kependidikan.
A. Pendidikan Sebagai Suatu Sub Sistem
Sebagai salah satu sub-sistem di dalam sistem negara/pemerintahan, maka keterkaitan pendidikan dengan sub-sistem lainnya diantaranya ditunjukkan sebagai berikut:
Pertama, berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas yang dapat diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja. Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).[4]
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkah dari negara kepada masyarakat dengan mekanisme BHP, yaitu adanya mekanisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.
Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar.[5]
Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial.
Kenyataan yang menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan jasa komoditas adalah data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta yang terdiri dari biaya langsung dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total.[6]
Menurut laporan dari Bank Dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya, padahal pada saat yang sama pemerintah India telah dapat menanggung pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, presentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah.[7]
Kedua, berlangsungnya kehidupan sosial yang berlandaskan sekularisme telah menyuburkan paradigma hedonisme (hura-hura), permisivisme (serba boleh), materialistik (money oriented), dan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat saat ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk kepribadian (syakhsiyah) yang utuh berdasarkan pandangan syari’at Islam).
Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Sisdiknas No.20/2003 pasal 3 yang menunjukkan paradigma pendidikan nasional, dalam bab VI menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu dapat pula dilihat dalam regulasi derivatnya seperti Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan No.19/2005, RUU Wajib Belajar dan RUU BHP.
Dalam paradigma materialistik pun indikator keberhasilan belajar siswa setelah menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan perlakuan yang sama secara nasional pemerintah menghukumnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional (UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), indikator itupun hanya pada mata pelajaran tertentu saja (Matematika/Ekonomi, IPA, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris) yang mana pelajaran tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah (Mendiknas) menilai bahwa Ujian Nasional sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan hasil Ujian Nasional sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan.[8]
Disisi lain, aspek pembentukan kepribadian (syakhsiyah) yang utuh dalam diri siswa, tidak pernah menjadi indikator keberhasilan siswa dalam menempuh proses pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama.[9]
Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja (pelajar) yang diantara akibatnya menjerumuskan para pelajar pada seks bebas, terlibat narkoba, perilaku sarkasme/kekerasan (tawuran, perpeloncoan), dan berbagai tindakan kriminal lainnya (pencurian, pemerkosaan, pembunuhan) yang sering kita dapatkan beritanya dalam tayangan berita kriminal di media massa (TV dan koran), merupakan sebuah keadaan yang menunjukkan tidak relevannya sistem pendidikan yang selama ini diselenggarakan dengan upaya membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional sendiri,[10] karena realitas justru memperlihatkan kontradiksinya.
Ketiga, berlangsungnya kehidupan politik yang oportunistik telah membentuk karakter politikus machiavelis (melakukan segala cara demi mendapatkan keuntungan) di kalangan eksekutif dan legislatif termasuk dalam perumusan kebijakan pendidikan Indonesia. Perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP) yang sudah berlangsung sejak 2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit (TIB) Revrisond Bashwir sebagai agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga Perguruan Tinggi.
Selain itu dalam beberapa kebijakan operasional Sisdiknas yang dikeluarkan pemerintah ternyata kadangkala didukung pula oleh dana yang jumlahnya tidak sedikit, meskipun dalam implementasinya banyak masyarakat yang menilai sering terjadi salah sasaran bahkan penyimpangan. Sebagai contoh kebijakan Mendiknas, Bambang Sudibyo yang tetap melaksanakan Ujian Nasional (UN) ternyata berkaitan dengan dana yang tersedia untuk program tersebut sabgat besar, padahal berbagai aliansi masyarakat telah mengajukan penolakan. Koalisi Pendidikan yang terdiri dari berbagai lembaga menemukan beberapa kesenjangan, berdasarkan kajian terhadap UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No.153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional.[11]
Demikianlah uraian problematika pendidikan Nasional yang ditinjau dari eksistensinya sebagai suatu sub-sistem (sistem cabang) ternyata erat kaitannya dengan pengaruh dari sub-sistem yang lain (ekonomi, politik, sosial-budaya, ideologi, dsb). Sistem pendidikan nasional juga merupakan bagian dari penyelenggaraan sistem kehidupan di Indonesia saat ini.
B. Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem Kompleks
Dalam kaitan pendidikan sebagai suatu sistem, maka permasalahan pendidikan yang saat ini tengah berkembang diantaranya tergambar dengan pemetaan sebagai berikut :
1. Pemerataan Pendidikan dan Keterbatasan Aksebilitas dan Daya Tampung
Gerakan Wajib Belajar 9 Tahun merupakan gerakan pendidikan nasional yang dicanangkan oleh pemerintahan Suharto pada tanggal 2 Mei 1994 dengan target tuntas pada tahun 2005, namun kemudian karena terjadi krisis pada tahun 1997-1999 maka program ini di perpanjang hingga tahun 2008/2009.
Sasaran program ini berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam PP No. 7/2005 adalah dengan target Angka Partisipasi Kasar (APK) 94% (APK= perbandingan antara jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia tertentu) yaitu meningkatnya siswa SLTP dari 3,67 juta orang pada tahun 2004/2005 menjadi 4,04 juta orang pada tahun 2009. Sedangkan target Direktorat SMP, Dirjen Mendikdasmen Depdiknas adalah APK 95% pada tahun 2008 yang artinya 1,9 juta anak harus terlayani ke SMP. Tahun 2005, APK SMP baru mencapai 85,22% yang menunjukkan adanya selisih 9,78% dari target 95% sehingga perlu adanya pencapaian kenaikan rerata APK sebesar 3,26% pada setiap tahunnya. Tahun 2006 ditargetkan adanya kenaikan 4,64% atau 526.000 anak usia 13-15 tahun harus tertampung di jenjang SLTP/ Sederajat.[12]
Berkaitan dengan pencapaian APK dan APM, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator :
(1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%
(2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas tahun 2003). Namun, baru-baru ini pemerintah menyatakan optimismenya bahwa penuntasan wajib belajar akan berjalan sukses pada tahun 2008. Keyakinan ini didasarkan atas indikator pencapaian APM SD dan APK SMP pada akhir 2006 berturut-turut mencapai 94,73% dan 88,68% dari 95% target yang dicanangkan pada 2008.[13]
2. Kerusakan Sarana/Prasarana Ruang Kelas
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka bagaimana mungkin proses pendidikan dapat berlangsung secara efektif. Kondisi di daerah padesaan biasanya lebih tertinggal dari kondisi di perkotaan. Sarana dan prasarana pendidikan di daerah akan terlihat apa adanya, sehingga proses kegiatan belajar mengajar hanya sekedar untuk melaksanakan program pemerintah dalam wajib belajar pendidikan dasar selama 9 tahun. Sarana dan prasarana yang kurang atau bahkan tidak memadai, tentunya akan menghambat proses penyelenggaraan pendidikan dan akan mengakibatkan menurunnya minat masyarakat terhadap dunia pendidikan.
3. Kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM)
Guru sebagai pilar penunjang terselenggaranya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Namun hingga sekarang ini jumlah guru yang profesional dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih kurang. Kurangnya jumlah guru yang profesional ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut membuat beban guru yang ada semakin bertumpuk sehingga sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan.
Menurut laporan UNDP tahun 2000 tentang mutu Sumber Daya Manusia (SDM) menunjukkan Indonesia berada pada urutan 109, sedangkan mutu pendidikan menurut laporan UNESCO, Indonesia berada pada urutan 119 di dunia. Dan perguruan tinggi kebanggaan nasional Indonesia belum menduduki peringkat 50 dari 104 perguruan tinggi sejenis di Asia Fasifik menurut survei Asiaweek.[14]
C. Masalah Pengelolaan dan Efisiensi Pendidikan
Masalah pengelolaan dan efisiensi pendidikan diantaranya berdasarkan pada :
1. Kinerja dan Kesejahteraan Guru Belum Optimal
Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan pendidik. Berdasarkan UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 sampai dengan 16 menyebutkan tentang Hak dan Kewajiban diantaranya, bahwa hak guru dalam memperoleh penghasilan adalah di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan, berbagai fasilitas untuk meningkatkan kompetensi, berbagai tunjangan seperti tunjangan profesi, fungsional, tunjangan khusus bagi guru di daerah khusus, serta berbagai maslahat tambahan kesejahteraan.
Undang-undang tersebut memang sedikit membawa angin segar bagi kesejahteraan pendidik, namun pada realitasnya ternyata tidak semanis redaksinya. Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan sebesar Rp 3 juta . Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS perbulan sebesar Rp 1,5 juta, guru bantu Rp 460 ribu, dan guru honorer rata-rata 10 ribu rupiah per jam.
Dengan pendapatan seperti itu, banyak guru yang bekerja sampingan seperti mengajar di sekolah lain, memberi les, menjadi tukang ojek, berdagang dan sebagainya. Permasalahan kesejahteraan guru akan berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya dalam melaksanakan proses pendidikan. [15]
2. Proses Pembelajaran Yang Konvensional
Dalam hal proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.[16]
3. Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum Memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005 tentang Standar Sarana dan Prasarana disebutkanbahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. [17]
Secara teknis, pengadaan buku pelajaran di sekolah tidak boleh lagi dilakukan oleh sekolah dengan menjual buku-buku kepada siswa secara bebas, karena pemerintah sudah menganggarkan dana BOS Buku. Namun pada kenyataannya dana yang disiapkan oleh pemerintah masih terbatas untuk biaya pengadaan buku pelajaran. Contohnya : Unit cost untuk setiap siswa dari BOS buku ini hanya Rp 22.000 yang diperuntukkan untuk membeli satu buah jenis buku. [18]
Sedangkan buku yang dibutuhkan siswa seharusnya adalah sejumlah mata pelajaran. Jelasnya, dana BOS buku yang disediakan pemerintah sangat tidak memadai.
4. Keterbatasan Anggaran
Ketersediaan anggaran yang memadai dalam penyelenggaraan pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No 20/2003 pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD.
Permasalahannya adalah pemerintah berupaya merealisasikan anggaran pendidikan 20% secara bertahap karena pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengalokasikan dana tersebut secara sekaligus dari APBN/APBD.
KESIMPULAN
Pendidikan sebagai sebuah sub-sistem yang sekaligus juga merupakan suatu sistem yang kompleks. Gambaran pendidikan sebagai sebuah sub-sistem adalah kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang berjalan dengan dipengaruhi oleh berbagai aspek eksternal yang saling terkait satu sama lain. Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan, bahkan ideologi sangat erat pengaruhnya terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, begitu pun sebaliknya.
Sedangkan pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks menunjukkan bahwa pendidikan di dalamnya terdiri dari berbagai perangkat yang saling mempengaruhi secara internal, sehingga dalam rangkaian input proses - output pendidikan dan berbagai perangkat yang mempengaruhinya tersebut perlu mendapatkan jaminan kualitas yang layak oleh berbagai stakeholder yang terkait.
Untuk mengetahui dan menemukan permasalahan pendidikan di lapangan yang sesungguhnya, diperlukan suatu tim yang bersifat permanen yang dikenal dan dipadukan dengan dinas instansi terkait baik di tingkat propinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai ke kelurahan/desa.
Dan tim yang sudah dibentuk itu harus berkemampuan untuk melakukan pengamatan langsung dan kajian bersama yang melibatkan : ahli pendidikan, tokoh masyarakat, serta dialog langsung dengan masyarakat. Sehingga dapat merumuskan dan mengembangkan potensi daerah dan peserta didik sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Disamping itu pun, tim harus melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan pendidikan yang terprogram agar pendidikan dapat terlaksana dengan baik dan rapi.
Sistem pendidikan di Indonesia tidak akan mengalami problem yang serius apabila seluruh komponen yang terdiri dari pemerintah pusat/daerah, sekolah selaku SDM, masyarakat dan orang tua ikut mendukung penyelenggaraan pendidikan.
Didalam menyelesaikan masalah tersebut, secara garis besar ada dua solusi :
Pertama, solusi sistemik, yaitu solusi dengan berusaha memperbaiki sistem-sistem yang berkaitan dengan pendidikan dalam segala aspeknya seperti dalam aspek metodologi, finansial, managerial, institusional, sistem ekonomi, politik, sosial, ideologi, dan lainnya.
Dengan demikian maka penyelenggaraan pendidikan sebagai salah satu bentuk kewajiban negara kepada rakyatnya dapat terlaksana tanpa adanya biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap rakyat yang tidak mampu. Sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang-Undang No 20/2003 Sistem Pendidikan Nasional Bab IV pasal 5 tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Kedua, solusi teknis, yaitu solusi untuk menyelesaikan berbagai masalah internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. [19]
Pemerintah dalam hal ini seharusnya :
1. Mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitas sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik rakyat. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintah pun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat.
2. Merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai dengan kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka, meningkatkan kemampuan pendidikan dan ekonomi mereka sebagai insentif dalam proses mengajar bagi tenaga pendidik yang berada di kota atau pun di desa.
(“ Good educators mean good education”). Disamping kesejahteraan guru, kurikulum, peraturan/regulasi yang diperbaiki, pendistribusian subsidi pemerintah pun harus adil dan menyeluruh.
3. Membangun sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas agar dapat memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.
4. Bersama-sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat mengembangkan asas-asas kurikulum dengan mempertimbangkan 4 asas/dasar yaitu (1) dasar filosofis, (2) dasar psikologis, (3) dasar sosiologis, dan (4) dasar organisatoris.[20]
Tentunya disesuaikan dengan potensi peserta didik dan daerah masing-masing.
5. Secara tegas melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan agar terlaksana pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
[2] PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
[3] Dikutip dari Harian Kompas, edisi 5 September 2001
[4] Lihat RUU BHP dan PP tentang SNP No.19/2005
[5] Baca, Republika, 10 Mei 2005
[6] Baca, Koran Tempo, 7 Maret 2007
[7] Lihat, www.worldbank.com
[8] Dikutip dari www.indonesia.go.id, Senin 12/2/2007
[9] Lihat, Standar Kompetensi dan Kelulusan Siswa dalam PP No.19/2005
[10] Lihat, UU No. 20/2003 Pasal 2
[11] Lihat, www.tokohindonesia.com
[12] Dikutip dari Panduan KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI 2006
[13] Dikutip dari, www.tempointeraktif.com, 8 Maret 2007
[14] Baca, Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Logung Pustaka, 2005 cet. II
[15] Dikutip dari: Harian Republika, edisi 13 Juli 2005
[16] Baca juga, Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Logung Pustaka, 2005 cet. II
[17] Lihat, PP No 19/2005 tentang SNP pasal 42
[18] Dikutip dari: www. Klik-galamedia.com, 08 Februari 2007
[19]Lihat, www.tokohpendidikanindonesia.com
[20] Lebih lengkapnya silahkan baca : S. Nasution, Asas-Asas Pengembangan Kurikulum, Jemmars, Bandung.