METODE PENGAJARAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Ummi Hj. Zuhriyah
A. Pendahuluan
Di dalam buku yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam yang dikarang oleh Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, dijelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an metode dikenal sebagai sarana yang menyampaikan seseorang kepada tujuan penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi ini, dengan melaksanakan pendekatan dimana manusia ditempatkan sebagai makhluk yang memiliki potensi rohaniah dan jasmaniah, yang keduanya dapat digunakan sebagai saluran penyampaian materi pelajaran. Karenanya, terdapat suatu prinsip umum dalam memfungsikan metode, yaitu prinsip agar pengajaran dapat disampaikan dalam suasana menyenangkan, menggembirakan, penuh dorongan, dan motivasi, sehingga pelajaran atau materi didikan itu dapat dengan mudah diberikan Banyaknya metode yang ditawarkan para ahli sebagaimana di jumpai dalam buku-buku kependidikan lebih merupakan usaha mempermudah atau mencari jalan paling sesuai dengan perkembangan jiwa si anak dalam menerima pelajaran.
Dalam menyampaikan materi pendidikan kepada peserta didik perlu ditetapkan metode yang didasarkan kepada pandangan dan persepsi dalam menghadapi manusia sesuai dengan unsur penciptaanya, yaitu jasmani, akal,dan jiwa yang diarahkan menjadi orang yang sempurna. Karena itu materi-materi pendidikan yang disajikan oleh al-Qur’an senantiiasa mengarah kepada pengembangan jiwa, akal dan jasmani manusia itu, hingga dijumpai ayat yang mengaitkan keterampilan dengan kekuasaan Tuhan, yaitu ayat yang berbunyi : “Dan bukanlah kamu yang melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (Q.S. al-Anfal,8:7). [1]
Sesungguhnya metode mengajar dalam pendidikan Islam, seperti juga dengan kurikulumnya dan segala yang bersangkut-paut dengannya, mempunyai dasar-dasar dan sumber-sumber yang umum yang diatasnya ia berdiri dan daripadanya ia memperoleh unsur-unsur, tujuan-tujuan, matlamat-matlamat dan prinsip-prinsipnya. Dasar-dasar dan sumber-sumber umum ini tidak banyak berbeda dari dasar-dasar umum yang berkenaaan dengan tujuan-tujuan dan kurikulum pendidikan Islam. Ini menggambarkan bahwa tujuan pelajaran, kurikulum, metode mengajar adalah bagian-bagian dan mata rantai yang berkaitan dan bertalian dalam proses pendidikan.
Menurut beberapa ahli, salah satu aspek yang paling banyak dibincangkan dalam dunia pendidikan adalah mengenai pertumbuhan dan perkembangan. Mereka beranggapan bahwa hidup manusia ini, semenjak lahir sampai meninggal, terdiri dari berbagai tahap perkembangan.
Di dalam merumuskan metode pengajaran dalam pendidikan Islam, perlu memperhatikan juga aspek pertumbuhan dan perkembangan pribadi siswa, bukan saja pertumbuhan dan perkembangan dari segi individu, tetapi jiwa dan psiko sosial.
Pembuat- pembuat kurikulum dan guru-guru haruslah mengetahui teori-teori pertumbuhan dan perkembangan ini agar ia dapat menyuguhkan berbagai aspek pengetahuan yang sesuai dengan tahap perkembangan kanak-kanak.[2]
B. Pengertian Dasar Biologis
Dasar biologis bermakna sekumpulan kekuatan dan ciri-ciri jasmaniah yang mempengaruhi tingkah laku pelajar pada proses belajarnya.
Perkembangan biologis manusia, mempunyai pengaruh dalam perkembangan intelektualnya.
Sehingga semakin lama perkembangan biologis seseorang, maka dengan sendirinya makin meningkat pula daya intelektualnya. Dalam memberikan pendidikan dan pengajaran dalam pendidikan Islam, seorang pendidik harus memperhatikan perkembangan peserta didik.
Perkembangan jasmani (biologis) seorang juga mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap dirinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan jasmani dan kondisi jasmani itu sendiri, memegang peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan, sehingga dalam menggunakan metode pendidikan seorang pendidik harus memperhatikan kondisi biologis peserta didik. Seorang peserta didik yang cacat akan berpengaruh terhadap prestasi peserta didik, baik pengaruh positif maupun negatif. Hal ini memberikan hikmah dari penciptaan Tuhan, maka dengan harapan besar pendidik dapat memberikan pengertian secukupnya pada peserta didiknya untuk menerima penciptaan Allah yang sedemikian rupa.[3]
Di dalam buku yang berjudul Fisafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangannya, karangan M.al-Toumy al-Syaibany mengemukakan bahwa dasar biologis meliputi pertimbangan kebutuhan jasmani dan tingkat perkembangan usia anak didik.
Adapun tentang dasar biologis maka adalah kewajiban guru untuk memelihara dalam metode teknik pengajarannya, ciri-ciri kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, dan tahap kematangan murid-muridnya. Ia harus memperhitungkan bahwa murid-murid itu mempunyai kebutuhan bilogis yang harus dipuaskan dan dipenuhi supara tercapai penyesuaian jasmani, psikologis dan sosial yang sehat.
Sebagaimana menjadi kewajiban guru juga dalam metode kurikulum dan proses pengajaran keseluruhannya bahwa ia memelihara kematangan jasmani murid-muridnya. Jika ia ingin melatihnya dalam suatu keterampilan yang bertalian dengan jasmani maka haruslah ia memelihara tahap kematangan segi jasmani yang berkaitan dengan keterampilan yang ingin dipelajarinya, misalnya kematangan otot jari-jari berkenaan dengan belajar menulis, kematangan otot-otot mata untuk belajar membaca, sebab telah ditunjukkan oleh kajian-kajian pertalian keterampilan-keterampilan ini dengan tahap kematangan segi-segi jasmani yang berhubungan dengannya.” Latihan untuk menghafal sesuatu perlu kepada pemusatan yang berhubungan rapat dengan kematangan urat saraf. Juga telah diketahui bahwa kekuatan memusatkan perhatian dan jaraknya berpadan secara terbalik sesuai dengan lanjutnya umur dan sempurnanya kematangan.” [4]
Di samping itu, ada beberapa prinsip umum yang menjadi dasar metode mengajar dalam pendidikan Islam, di antaranya adalah pentingnya menjaga motivasi pelajar, kebutuhan, minat, dan keinginannya pada proses belajar, supaya ia dapat menjamin sikap positif pelajar dan kesukaannya kepada pelajaran. Wajiblah dipadukan oleh pendidik antara tarikan dan kekerasan (persuation & determination), supaya jiwa kanak-kanak tidak menjadi lemah, dan jangan ia dipaksa supaya jangan marah.
Ali r.a. berkata : “Didalam hati itu ada syahwat, sifat ingin dan benci. Datangilah ia sewaktu ia sedang ingin. Sebab kalau hati dipaksa ia akan jadi buta.”[5]
Yang dimaksud disini adalah, seorang pendidik harus memahami metode pengajaran yang sesuai dengan memperhatikan keadaan peserta didiknya ketika sedang mengajar, agar pengajaran tersebut dapat diterima dengan baik oleh peserta didik.
Selanjutnya adalah perlunya pendidik mengetahui perbedaan-perbedaan dan kelainan ciri-ciri dan kelebihan-kelebihannya. Sehingga ia dapat menjaga perbedaan-perbedaan atau kelainan-kelainan yang terdapat di antara pelajar-pelajar dalam segala bentuk pertumbuhan dan segi-segi kehidupan mereka pada proses-proses pengajaran dan pada cara-cara meladeni pelajar-pelajar tersebut.
Tidak dapat tidak seorang pendidik harus mengakui adanya dan harus menjaganya dalam metode dan cara-cara mengajarnya jika ia ingin supaya ia sesuai dengan dengan naluri (fitrah) dan kenyataan dan agar supaya ia berjaya pada apa yang ditujunya.[6]
C. Periode Perkembangan Anak Didik
Berdasarkan pertimbangan periode perkembangan anak didik, Nabi mengemukakan cara mendidik yang baik. Beliau menyatakan : “ Didiklah anak-anakmu dengan cara bermain-main pada usia tujuh tahun pertama, dan tanamkanlah disiplin kepada mereka pada tujuh tahun berikutnya, kemudian ajaklah mereka berdiskusi saat mereka mencapai periode usia tujuh tahun yang ketiga, dan selanjutnya barulah mereka dapat dilepaskan untuk menentukan sikap hidupnya secara mandiri.
Pernyataan ini memberi pengertian bahwa metode pendidikan didasarkan atas pertimbangan tingkat usia anak didik.
Di usia 0;0-7;0, metode pendidikan yang terbaik adalah dengan memperlakukan anak didik secara lemah lembut dan kasih sayang. Di usia 7;0-14;00, caranya diubah dan dimulai ditekankan kearah pembentukan disiplin. Sedangkan di usia berikutnya, 14;00-21;0, cara yang tepat adalah berdiskusi, bertukar fikiran dengan anak didik.
Di usia ini anak didik dibimbing untuk berfikir kritis, memecahkan masalah yang dihadapinya dan dibantu untuk mencari jalan pemecahannya. Akhirnya setelah menginjak periode usia dewasa (21;0) barulah anak didik dibiarkan untuk mandiri.[7]
Metode seperti itu mungkin dapat dijadikan bagian dari dasar penyusunan metode pendidikan Islam. Hal tersebut dapat kita artikan bahwa, pendidikan Islam dari zaman ke zaman banyak menyimpan khazanah mengenai cara-cara mendidik yang tepat digunakan untuk menyampaikan sesuatu materi tertentu secara tepat, sehingga tujuan yang diprogramkan dapat dicapai.
Dalam pembahasan tentang hubungan antara konsep Islam, manusia dan metafisika pendidikan dikemukakan ada lima dasar, diantaranya salah satunya adalah pertumbuhan pikiran dan kemampuan anak didik menjadi pertimbangan dalam perumusan kurikulum dan mata pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangannya masing-masing. Dengan demikian perkembangan kepribadian yang meliputi aspek spiritual, moral, intelektual, imajinatif dan emosional serta aspek jasmaniah tidak terabaikan. [8]
Abu Al-Hassan Al-Qabisy berkata kepada orang yang bertanya kepadanya tentang penggunaan cara kumpulan dalam menghafal Al-Qur-an :
“ Saya bertanya perlukah anak-anak kecil atau orang-orang dewasa membaca dalam satu surah sebagai kumpulan. Kalau engkau ingin mereka berbuat demikian didepan guru, maka patutlah guru menengok pada apa yang lebih baik bagi proses belajar mereka, maka diperintahnya berbuat demikian dan mengajar mereka dalam hal itu. Sebab berkumpulnya mereka membaca didepannya menutupi hafalan orang lemah sebab adanya orang yang kuat hafalan. Tetapi kalau terhadap kanak-kanak maka ia memberitahukan mereka bahwa setiap mereka menghafal dalam kumpulannya.”[9]
Menurut An-Nahlawi, sistem perkembangan kurikulum hendaknya selaras dengan fitrah insani sehingga memiliki peluang untuk mensucikannya, dan menjaganya dari penyimpangan serta menyelamatkannya. Demikian juga pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik maupun unisitas (kekhasan) terutama karakteristik anak-anak, dan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).[10]
Selanjutnya An-Nahlawi pun menyebutkan keriteria yang lain : “ Hendaknya metode pendidikan/pengajaran dalam kurikulum bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan dengan berbagai situasi dan kondisi serta perbedaan individual, minat serta kemampuan siswa untuk menangkap dan mengolah bahan pelajaran.” [11]
Hendaknya para pendidik tidak berpedoman pada satu metode pengajaran saja, tetapi ia harus dapat memahami metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didiknya.
D. Memilih Metode Yang Dipergunakan Dalam Pengajaran
Imam Al-Ghazali mengisyaratkan dengan ucapannya : “ Seorang guru hendaklah membatasi dirinya dalam bicara dengan anak-anak sesuai dengan daya pengertiannya, jangan diberikan kepadanya sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh akalnya, karena akibatnya ia akan lari dari pelajaran atau akalnya akan memberontak terhadapnya. Isyarat ini adalah sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad s.a.w. yang bersabda :
"Kami para nabi-nabi diperintah untuk menempatkan seseorang pada posisinya, berbicara dengan seseorang sesuai dengan akalnya “.
Menurut Imam Al-Ghazali, metode yang dipergunakan dalam mengajar anak-anak berlainan dengan metode yang dipakai untuk mengajar orang-orang yang lebih besar. Imam Al-Ghazali telah menyarankan dipakainya metode ini oleh karena antara anak kecil dan yang besar terdapat perbedaan tanggapan. Imam Al-Ghazali berkata : “ Kewajiban utama dari seorang juru didik ialah mengajarkannya kepada anak-anak apa-apa yang gampang dan mudah dipahaminya, oleh karena masalah-masalah yang pelik akan mengakibatkan kekacauan pikiran dan menyebabkan ia lari dari ilmu.” [12]
Di dalam mempergunakan metode pengajaran ini, Ibnu Khaldun pun berpendapat demikian dan ia pun berkata:
“ Banyak dari guru-guru yang kita lihat dewasa ini yang tidak mengerti cara mengajar dan memanfaatkan pelajaran. Mereka pada permulaan saja telah memberikan masalah-masalah yang sulit-sulit kepada murid-murid dan meminta kepada murid-murid itu untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, dan mereka anggap cara itulah yang sebaik-baiknya untuk melatih anak-anak dan cara itulah yang benar. Kemauan dan kesediaan menerima ilmu itu adalah sesuatu yang datang secara berangsur-angsur “.
Imam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun serta lain-lain failusuf pendidikan Islam sependapat bahwa cara pemikiran anak-anak berbeda dari cara pemikiran orang besar, dan hal ini terus diperhatikan dalam mengajar. Pendapat-pendapat ini tergolong pendapat-pendapat penting dalam dunia pendidikan modern di abad -20 sekarang ini.
Anak-anak membutuhkan hal-hal yang dapat dirasa yang ada hubungannya dengan lingkungan hidupnya, bahan-bahan yang mudah dimengerti, sedang sebaliknya orang-orang besar dapat mengerti hal-hal yang bersifat abstrak (tidak kelihatan) yang sesuai dengan logika dan mantiq. [13]
Kita bisa melihat pada pendidikan modern sekarang ini, menyarankan apa yang telah disuarakan oleh Rasulullah s.a.w. di dalam menghadapi orang-orang sesuai dengan akal mereka, dengan memperhatikan tingkat kecerdasan dan tingkat kemampuan mereka. Sehingga mereka dapat mengerti hal-hal yang mereka hadapi atau masalah yang dipelajari.
E. Mendidik Anak-Anak Secara Halus
Sebelum Islam, sistem pendidikan yang dipakai terhadap anak-anak ialah sistem keras dan kasar, dimana-mana sekolah terdapat cambuk, dimana-mana terdapat hukuman yang kejam. Akan tetapi para failusuf Islam kemudian memperingatkan akan bahayanya sistem ini dalam pendidikan, dan mereka telah melarangnya penggunaan cambuk dan hukuman kejam dan sebaliknya menyarankan cara-cara lunak lembut, membenarkan kesalahan-kesalahan anak-anak dengan jiwa yang halus,lunak, lembut dan kasih sayang serta menyelidiki pula latar belakang yang menyebabkan kekeliruan-kekeliruan tersebut dan berusaha untuk memahaminya serta menyatakan kepada anak-anak akibat-akibat kekeliruan tersebut. Dengan demikian mereka menjalani suatu bentuk pendidikan yang ideal serta memberantas cara-cara yang kasar dan keras dalam pendidikan serta dianggap membunuh cita-cita, penumpul kepintaran dan selanjutnya membawa kepada kehinaan, penipuan dan rasa rendah diri. [14]
Seiring dengan perkembangan zaman, posisi anak didik telah mengalami perubahan. Dari yang tadinya hanya sebagai objek menjadi objek dan juga sekaligus subjek dengan arti bahwa pada setiap proses pengajaran/pendidikan mereka juga harus dilibatkan untuk memecahkan masalah.
Dalam Islam pembahasan tentang peserta didik dijelaskan dalam al-Qur’an dalam perspektif penciptaan manusia, yang berarti memposisikan anak didik sebagai manusia yang memiliki kodrat kefitrahannya. Untuk memahami anak didik tidak dapat dipisahkan dari konsep tentang hakikat manusia. Artinya seorang anak didik dilihat sebagai “seorang manusia “.[15]
F. KESIMPULAN
Pendidik adalah individu yang mampu melaksanakan tindakan mendidik dalam satu situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Individu yang mampu itu adalah orang dewasa yang bertanggung jawab, sehat jasmani dan ruhani, mampu berdiri sendiri dan mampu menanggung risiko dari segala perbuatannya. Kesediaan dan kerelaan untuk menerima tanggung jawab itulah yang pertama dan utama dituntut dari seorang pendidik. Yang dimaksud dengan pendidikm di sini adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan ruhaninya, agar mencapai tingkat kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial, dan makhluk individu yang mandiri.
Pendidik bertugas sebagai medium agar anak didik dapat mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Tanpa pendidik, tujuan pendidikan manapun yang telah dirumuskan tidak akan dicapai oleh anak didik. Agar pendidik berfungsi sebagai medium baik dalam menjalankan tugas kegiatan pendidikan, maka ia harus melaksanakan beberapa peranan yang diperlukan sebagai berikut :
Ia wajib menemukan pembawaan pada anak didiknya dengan jalan observasi, wawancara, pergaulan, angket dan sebagainya.
Ia wajib berusaha menolong anak didik dalam perkembangannya. Agar pembawaan buruk tidak dapat berkembang dengan subur mendekati kemungkinannya, dengan menyiapkan lingkungan yang diperlukan.
Ia wajib menyajikan jalan yang terbaik dan menunjukkan perkembangan yang tepat. Pendidik adalah orang yang berpengalaman dalam menghadapi liku-likunya jalan dan mengetahui kemungkinan sesatnya jalan yang menimbulkan tidak tercapainya tujuan yang diinginkan.
Ia wajib setiap waktu mengadakan evaluasi untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik dalam usaha mencapai pendidikan sudah berjalan seperti yang diharapkan.
Ia wajib memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada anak didik pada waktu mereka menghadapi kesulitan dengan cara yang sesuai dengan kemampuan anak didik dan tujuan yang akan dicapai.
Dalam menjalankan tugasnya, pendidik wajib selalu ingat bahwa anak sendirilah yang berkembang berdasarkan bakat yang ada padanya. Pendidik tidak dapat mengubahnya, maupun berusaha mengembangkan bakat yang ada pada anak didik.
Pendidik senantiasa mengadakan penilaian atas diri sendiri untuk mengetahui apakah hal-hal tertentu dalam diri pribadinya yang harus mendapatkan perbaikan.
Pendidik perlu memilih metode atau teknik penyajian yang tidak saja disesuaikan dengan bahan atau isi pendidikan yang akan disampaikan namun sesuai dengan kondisi anak didiknya. Karena anak didik ini berbeda-beda sifatnya, maka penggunaan metode penyajian yang hanya menggunakan satu macam, sudah jelas tidak memadai dan tidak memberikan manfaat banyak dalam mencapai tujuan pendidikan.
Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi perkembangan mental. Setiap individu memerlukan bantuan dan perkembangan pada tingkat yang sesuai dengan tugas perkembangan anak didik. Dan karena secara kodrati peserta didik itu berbeda, maka pendidikan yang dilakukan harus sesuai dengan perkembangan tiap-tiap peserta didik pada tiap tingkat perkembangan sehingga pendidikan yang diberikan tepat dan berdaya guna. Karena ketepatan memilih metode penyajian merupakan faktor yang sangat menentukan. Dan karena setiap peserta didik mempunyai pembawaan dan potensi yang berbeda, pendidik wajib berusaha untuk mengetahui pembawaan masing-masing anak didiknya agar layanan pendidikan yang diberikan sesuai dengan keadaan masing-masing.
[1] Baca, Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005 ). h. 146
[2] Lihat. Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, ( Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1987 ), cet.II
[3] Baca, Ramayulis,Prof,DR, Metodologi Pendidikan Agama Islam, ( Jakarta: Kalam Mulia, 2005), h. 7
[4] Lihat, Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Prof.DR, Falsafah Pendidikan Islam , ( Jakarta : Bulan Bintang, 1979 ) cet.I, h.589-590
[5] Ibid, hal. 595
[6] Ibid, hal. 601
[7] Baca, Jalaluddin,DR & Usman Said, Drs, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996 ) h. 54-56
[8] Ibid, h. 168
[9] Lihat, Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Prof.DR, Falsafah Pendidikan Islam , ( Jakarta : Bulan Bintang, 1979 ) cet.I, h. 602
[10] Baca, Samsul Nizar, DR,MA, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, ( Jakarta : Ciputat Pers, 2002 ) h. 59
[11] Ibid, h. 60
[12] Baca, Mohd. ‘Athiyah Al-Abrasyi, Prof. DR, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam,
( Jakarta : Bulan Bintang ) h. 25
[13] Ibid, h. 26
[14] Ibid, h. 32
[15] Baca, Fadhilah Suralaga, Dra. M.Si, Nety Hartaty, Dra. M.Si, Zahratun Nihayah, Dra. M.Si, Solicha, S.Ag, Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Islam, ( UIN Jakarta Press, 2005 ) Cet. I , h. 112