28 November 2010

24 November 2010

19 Mei 2010

03 Februari 2009

PENDIDIKAN ISLAM MASA RASULULLAH
Oleh : Ummi Hj. Zuhriyah

A. PENDAHULUAN

Dalam Islam, pendidik yang paling profesional itu adalah Rasulullah SAW, beliau sebagai pribadi yang istimewa, secara permanen telah memberi pengaruh dalam usahanya mengubah kehidupan bangsa Arab dan sekitarnya untuk kembali kepada ajaran Allah SWT yang telah lama ditinggalkan. Kemampuan Rasulullah SAW untuk mengubah tradisi jahiliah itu menjadikan bangsa Arab dapat meninggalkan satu warisan diantara agama-agama besar di dunia. Eksistensi ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW sampai saat ini masih diakui baik olh umatnya maupun oleh umat dari agama lain. Hal ini dapat dibuktikan dengan bermunculannya buku-buku dan kajian yang menceritakan sejarah kehidupan Rasulullah sebagai tokoh yang memiliki pengaruh besar, dan hal ini juga menandakan bahwa Rasulullah merupakan seorang guru yang profesional dalam usaha mengembangkan sumber daya manusia.
[1]

Al-Qur’an telah memberikan isyarat teentang Nabi Muhammad SAW sebagai guru kedua setelah Allah SWT. Pada intinya kedudukan Nabi sebagai pendidik atau guru karena ditunjuk langsung oleh Allah SWT, yang bertugas dan bertanggung jawab untuk membimbing umat. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut Nabi Muhammad SAW dibekali Allah SWT tidak hanya denga Al-Qur’an, tetapi juga dengan kepribadian dan karakter yang istimesa. Jadi selain sebagai penyampai ilmu, Nabi Muhammad memilki peran sebagai pengawal moral dan sebagai tauladan, pemimpin yang baik dan bijaksana.

Baik ketika di Mekkah dan juga di Madinah, secara sempurna Rasulullah SAW telah menunjukkan keteladanannya sebagai pendidik. Segala tutur kata, tingkah laku dan segala sikap yang diambilnya merupakan gambaran hidup tentang pemikiran pendidikan Islam. Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an, beliau adalah guru teragung pada sekolah Islam dan lulusan sekolah ilahiyah di Gua Hira (Langgulung,2003).

Pendidikan pertama yang dilakukan oleh Rasulullah adalah membina pribadi muslim agar menjadi kader-kader yang berjiwa kuat dan tangguh dalam menghadapi segala cobaan untuk dipersiapkan menjadi masyarakat Islam, muballigh dan pendidik yang baik. Oleh karena itu sudah seyogyanya setiap pendidik muslim harus dapat meneladani Rasulullah dan menjadi tauladan terhadap peserta didiknya.
[2]

Pada mulanya pendidikan Islam dilaksanakan oleh Nabi secara sembunyi dan disampaikan melalui individu ke individu. Tetapi setelah pemeluk Islam bertambah banyak diperlukan lembaga pendidikan supaya pelaksanaan pendidikan lebih efektif dan efisien. Lembaga pendidikan pertama dalam Islam adalah keluarga atau rumah tangga. Dalam sejarah tercatat, bahwa rumah tangga yang dijadikan basis dan markas pendidikan Islam pertama adalah rumah (dar) Arqam bin Abi Arqam.

Lebih kurang 13 tahun lamanya Rasulullah menjadikan keluarga sebagai lembaga pendidikan dalam Islam guna mengadakan dan menyalurkan perubahan dalam masyarakat. Secara formal di rumah Arqam inilah Nabi mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam kepada para sahabat, dan di sini pula Nabi menerima para tamu yang ingin bertanya kepada Nabi tentang ajaran Islam dan orang-orang yang ingin masuk Islam. Di rumah ini beliau mengajar kumpulan kecil ini, ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan melalui Malaikat Jibril, dan membentuk ideologinya sesuai dengan ajaran Islam yang mulia.
[3] Agaknya di rumah ini pulalah terbentuknya jama’ah Islam pertama di periode Mekkah.

Pusat pendidikan Islam itu bukanlah lembaga beku, tetapi fleksibel, berkembang, dan menurut kehendak waktu dan tempat. Ketika orang-orang Islam berpindah dari Mekkah ke Madinah sesudah Hijrah, rumah al-Arqam dan rumah-rumah lain sudah tidak dapat memuat bilangan kaum muslimin yang begitu besar, sesudah mereka mendirikan negara di kota Madinah. Tetapi, sekarang masjid-lah yang memuat bilangan kaum muslimin yang besar ini, terutama karena masjid itulah yang menjadi pusat kehidupan masyarakat Islam semenjak didirikannya. Masjid sebagai lembaga atau pusat pendidikan kedua dalam Islam, merupakan lembaga pendidikan pokok pada zaman Nabi SAW dan juga pada zaman Khulafa al-Rasyidin.
[4]

1. MATERI/KURIKULUM YANG DIAJARKAN

Materi-materi pendidikan yang disampaikan pada masa itu diserahkan sepenuhnya kepada Nabi. Kurikulum pendidikan Islam pada periode Rasulullah baik di Mekkah maupun di Madinah adalah Al-Qur’an yang Allah wahyukan sesuai dengan kondisi dan situasi, kejadian dan peristiwa yang dialami umat Islam pada saat itu, karena itu dalam praktiknya tidak saja logis dan rasional, tetapi juga fitrah dan pragmatis. Hasil cara yang demikian dapat dilihat dari sikap rohani dan mental para pengikutnya yang dipancarkan ke dalam sikap hidup yang bermental dan semangat yang tangguh, tabah, dan sabar tetapi aktif dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam perkembangan sejarah selanjutnya ternyata mereka ini merupakan kader inti mubaligh dan pendidik pewaris Nabi yang brilian dan militan dalam menghadapi segala tantangan dan cobaan.
[5]

Rasulullah juga menyuruh sahabatnya untuk mempelajari bahasa asing. Statemen ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam sifatnya universal, berlaku uuntuk semua umat di dunia, bukan hanya tertentu untuk masyarakat Mekkah dan Madinah. Disamping itu pernyataan Rasulullah tersebut menunjukkan bahwa materi pelajaran yang berasal dari dunia luar bukan barang haram bagi Islam, akan tetapi hal yang wajib dilakukan untuk pengembangan dakwah dan pendidikan Islam ke dunia luar Islam.
[6]

Mahmud Yunus mengklasifikasikan materi pendidikan kepada dua macam, yaitu materi pendidikan yang diberikan di Mekkah dan materi pendidikan yang diberikan di Madinah. Pada fase Mekkah terdapat tiga macam inti sari materi pelajaran yang diberikan di Mekkah, yaitu :
1. Pendidikan keimanan, materi keimanan yang menjadi pokok utama adalah iman kepada Allah SWT, beriman kepada Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah, diwahyukan kepadanya Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat manusia, beriman kepada hari akhir (hari pembalasan).
2. Pendidikan ibadah, amal ibadah yang diperintahkan di Mekkah ialah shalat, sebagai pernyataan mengabdi kepada Allah, ungkapan syukur, membersihkan jiwa, dan menghubungkan hati kepada Allah. Pada awalnya shalat belum lima kali sehari semalam. Akan tetapi, setelah terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj barulah diwajibkan Allah untuk shalat lima kali sehari semalam (tahun 11 SH/621 M). Adapun pelaksanaan zakat berarti sedekah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim, dan membelanjakan harta ke jalan kebaikan (amal sosial). Zakat baru diatur dan diperinci oleh Nabi setelah berada di Madinah.
3. Pendidikan akhlak , Nabi menganjurkan penduduk Mekkah yang telah masuk Islam agar melaksanakan akhlak yang baik dan meninggalkan akhlak yang buruk.
[7]

Inti sari pendidikan agama yang diterapkan Nabi di Madinah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Pendidikan keimanan, diperkuat dengan keterangan-keterangan yang dibacakan oleh Nabi dari ayat-ayat Al-Qur’an serta sabda beliau sendiri (Hadis). Di Madinah ditetapkan keimanan itu terdiri dari enam perkara ; iman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, dan iman kepada takdir.
2. Pendidikan ibadah, untuk ibadah shalat disamping shalat lima waktu yang telah disampaikan di Mekkah ditambah dengan shalat Jum’at sebagai ganti shalat Zhuhur. Dan shalat-shalat sunnah, seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Shalat dianjurkan untuk dilaksanakan tepat pada waktunya, sehingga ia menjadi tiang agama. Ibadah puasa diperintahkan di Madinah pada tahun 2 Hijrah (623 M), yaitu puasa bulan Ramadhan. Ibadah haji diperintahkan pada tahun 6 H. Sementara ibadah zakat dalam Al-Qur’an tidak diperincikan, hanyalah Nabi yang menerangkan perinciannya. Al-Qur’an menerangkan orang-orang yang berhak menerima zakat.
3. Pendidikan Akhlak, diajarkan lebih diperinci lagi. Seperti adab masuk rumah, adab bercakap-cakap, bertetangga, bergaul dalam masyarakat, dan lain-lain.
4. Pendidikan kesehatan (jasmani), dapat dilihat dari amal ibadah yang dilakukan sehari-hari, seperti puasa, shalat, wudhu, dan mandi. Dalam Al-Qur’an ditegaskan supaya makan dan minum secara sederhana, tidak berlebih-lebihan dan sebagainya.
5. Pendidikan kemasyarakatan, syariat yang berhubungan dengan masyarakat misalnya : hal yang berhubungan dengan rumah tangga, hal-hal yang berhubungan dengan pergaulan sesama manusia, seperti hukum perdata dan pidana, dan hal-hal yang berhubungan dengan ekonomi dan pemerintahan.
[8]

Zuhairini membagi materi pendidikan fase Mekkah kepada dua bagian, yaitu :

Pertama, materi pendidikan tauhid, materi ini lebih difokuskan untuk memurnikan ajaran agama tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim, yang telah diselewengkan oleh masyarakat jahiliah. Secara teori inti sari ajaran tauhid terdapat dalam kandungan surat al-Fatihah Ayat 1-7 dan surat al-Ikhlas Ayat 1-5 secara praktis pendidikan tauhid diberikan melalui cara-cara yang bijaksana, menuntun akal pikiran dengan mengajak umatnya untuk membaca, memerhatikan dan memikirkan kekuasaan dan kebesaran Allah dan diri manusia sendiri. Kemudian beliau mengajarkan cara bagaimana mengaplikasikan pengertian tauhid tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah langsung menjadi contoh bagi umatnya. Hasilnya, kebiasaan masyarakat Arab yang memulai perbuatan atas nama berhala, diganti dengan ucapan bismillahirrahmanirrahim. Kebiasaan menyembah berhala, diganti dengan mengagungkan dan menyembah Allah SWT.
[9]

Kedua, materi pengajaran Al-Qur’an. Materi ini dapat dirinci kepada :
1. Materi baca tulis Al-Qur’an, untuk sekarang ini disebut dengan materi imla’ dan iqra’. Dengan materi ini diharapkan agar kebiasaan orang Arab yang sering membaca syair-syair indah, diganti dengan membaca Al-Qur’an sebagai bacaan yang lebih tinggi nilai sastranya.
2. Materi menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, yang kemudian hari disebut dengan menghafal ayat-ayat suci Al-Qur’an
3. Materi pemahaman Al-Qur’an, saat ini disebut dengan materi fahmi Al-Qur’an atau tafsir Al-Qur’an, tujuan materi ini adalah meluruskan pola pikir umat Islam yang dipengaruhi pola pikir jahiliah.
Pada fase Madinah materi pendidikan yang diberikan oleh Rasulullah cakupannya lebih kompleks dibandingkan dengan materi pendidikan fase Mekkah. Diantara pelaksanaan pendidikan Islam di Madinah adalah :
1. Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju kesatuan sosial dan politik
2. Materi pendidikan sosial dan kewarganegaraan yang terdiri dari pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antara kaum muslimin. Dalam melaksanakan pendidikan ukhuwah ini, Nabi Muhammad SAW bertitik tolak dari struktur kekeluargaan yang ada pada masa itu. Untuk mempersatukan keluarga itu Nabi Muhammad berusaha untuk mengikatnya menjadi satu kesatuan yang terpadu. Mereka dipersaudarakan karena Allah bukan karena yang lain. Antara orang yang beriman satu sama lainnya haruslah saling bantu membantu dalam menghadapi segala persoalan hidup. Mereka harus bekerja sama dalam mendatangkan kebaikan, mengurus kepentingan bersama, dan menolak kemudaratan atau kejahatan yang akan menimpa.
3. Materi pendidik khusus untuk anak-anak, berupa pendidikan tauhid, pendidikan shalat, pendidikan adab sopan santun dalam keluarga dan masyarakat, juga pendidikan kepribadian.
4. Materi pendidikan pertahanan dan ketahanan dakwah Islam.

Disamping materi yang telah disampaikan tadi, Nabi mengajarkan juga materi pendidikan ekonomi Islam. Berkenaan dengan hal ini banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang membahas aturan jual beli, karena kondisi masyarakat Arab Mekkah-Madinah gemar berdagang (at-tijarah).
[10]

2. METODE PENGAJARAN RASULULLAH

Untuk menciptakan suasana kondusif dan menyenangkan dalam mengajar para sahabatnya, Rasulullah SAW menggunakan bermacam metode. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan kebosanan dan kejenuhan sahabat. Diantara metode yang diterapkan Rasulullah didalam menyampaikan materi pendidikan adalah :
1. Metode ceramah,
2. Metode dialog,, misalnya dialog antara Rasulullah dengan Mu’adz Ibn Jabal ketika Mu’adz akan diutus sebagai qadi ke negeri Yaman.
3. Metode diskusi atau tanya jawab, sering sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang suat hukum dan beliau menjawabnya. Juga diskusi antara Rasulullah dengan para sahabatnya tentang hukuman yang akan diberikan kepada tawanan Perang Badar.
4. Metode demonstrasi, misalnya hadis Rasulullah, “Sembahyanglah kamu sebagaimana kamu melihat aku sembahyang”.
5. Metode eksperimen, metode sosiodrama, dan bermain peranan.
[11]

Selanjutnya, metode pendidikan akhlak disampaikan Nabi dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi kisah-kisah umat dahulu kala, supaya diambil pengajaran dan iktibar dari kisah itu. Disamping dengan metode kisah, pendidikan akhlak juga dilakukan dengan menggunakan metode penegasan dan uswatun hasanah. Misalnya dengan menjelaskan kriteria orang-orang munafik dan akibatnya, dan mempersaudarakan antara kaum Anshar dengan Muhajirin. Metode-metode pendidikan akhlak yang diterapkan Rasulullah sangat berbekas di dalam polah tingkah laku para sahabat. Hal ini dapat dilihat dari kondisi umat saat itu yang betul-betul patuh dan taat kepada perintah Rasulullah SAW. Persaudaraan diantara mereka- kaum Anshar dan Muhajirin- terbina dengan rapat dan kokoh, dan penuh kasih sayang.
[12]
Dalam buku “Tarbiyat Islamiyat”, yang ditulis Najb Khalid Al-Amar mengatakan bahwa, metode pendidikan Islam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Pada periode Mekkah dan Madinah adalah :

1. Melalui teguran langsung, misalnya Hadis Rasulullah : Umar bin Salmah r.a. berkata, “Dahulu aku menjadi pembantu di rumah Rasulullah SAW, ketika makan biasanya aku mengulurkan tanganku ke berbagai penjuru. Melihat itu beliau berkata, “Hai ghulam, bacalah basmalah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada didekatmu”.

2. Melalui sindiran, Rasulullah bersabda, “Apa keinginan kaum yang mengatakan begini begitu ? Sesungguhnya aku shalat dan tidur, aku berpuasa dan berbuka, dan aku pun menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak senang dengan sunahku berarti dia bukan golonganku”.

3. Pemutusan dari jama’ah, pernah Ka’ab bin Malik tidak ikut beserta Rasulullah SAW dalam Perang Tabuk. Dia berkata, “Nabi melarang sahabat lainnya berbicara dengan aku. Disebutkan, pemutusan hubungan itu berlangsung selama lima puluh malam”. (H.R. Bukhari)

4. Melalui pemukulan, Dari Umar ibn Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya disebutkan, Rasulullah SAW. Bersabda, “Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat dari usia tujuh tahun, dan pukullah mereka kalau enggan mengerjakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkan mereka dari tempat tidur”. (H.R. Abu Daud dan Hakim)
5. Melalui perbandingan kisah orang-orang terdahulu
6. Menggunakan kata isyarat, misalnya merapatkan dua jarinya sebagai isyarat perlunya menggalang persatuan.
7. Keteladanan, setiap apa yang disampaikan oleh Rasulullah, maka yang menjadi uswahnya adalah Rasulullah sendiri.
[13]

3. KARAKTERISTIK HUBUNGAN ANTARA MURID DAN GURU

Sejarah menjelaskan kepada kita bahwa pendidik khususnya Rasulullah dan para sahabatnya bukan merupakan profesi atau pekerjaan untuk menghasilkan uang atau sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupannya, melainkan ia mengajar karena panggilan agama, yaitu sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mengharapkan keridhoan Nya, menghidupkan agama, mengembangkan seruanNya, dan para sahabat meneruskan peranan Rasulullah SAW dalam memperbaiki umat.

Rasulullah sebagai seorang pendidik, memiliki tujuan kependidikannya adalah penyempurnaan dan pendekatan diri kepada Allah SWT. Beliau sangat memperhatikan manusia sesuai dengan kebutuhannya, karakteristiknya dan kemampuan akalnya, terutama jika beliau berbicara dengan anak-anak. Jenis bakat dan kesiapan mereka merupakan pertimbangan beliau dalam mendidik.
[14]

Dalam kita Adab al-Muallim wa al-Muta’allimim disebutkan bahwa seorang pendidik harus memiliki dua belas sifat.
[15]

Didalam memberikan materi pendidikan, sikap Rasulullah tergambar pada saat terjadinya proses pembelajaran antara Jibril yang berprilaku sebagai murid dan Rasulullah sebagai pendidik. Konsep tersebut dapat tergambar dari apa yang telah dikemukakan oleh Najib Khalid al-Amar, dengan mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab.
[16]

Metode yang diterapkan Rasulullah dalam hadis tersebut sebagai seorang pendidik (guru) pada saat terjadinya proses pembelajaran dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Guru hendaknya mendengarkan dengan pertanyaan dari murid
2. Guru hendaknya memperkenankan kepada murid untuk mengutarakan isi hatinya
3. Guru memilih tempat yang cocok untuk bertemu dengan peserta didik
4. Guru memiliki perhatian yang penuh terhadap murid-murid
5. Guru memilih waktu yang tepat untuk bertemu dengan peserta didik

Juga nilai-nilai yang dapat diambil dari sikap Malaikat Jibril sebagai seorang murid terhadap pendidikan Islam dalam hadis tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Seorang murid apabila bertanya, pertanyaannya harus jelas dan ringkas
2. Seorang murid harus mempersiapkan jasmani dan rohani untuk mencari ilmu
3. Siap mendengarkan dengan baik setelah menyampaikan pertanyaan
4. Tenang dalam menyampaikan pertanyaan-pertanyaan dan tidak disampaikan sekaligus
5. Pertanyaan yang disampaikan harus bermanfaat dan susunan pertanyaan yang akurat dan ilmiah
6. Memilih waktu yang tepat untuk bertemu dengan guru, duduk mendekat dengan guru, posisi duduk murid yang menyehatkan

4. SARANA DAN PRASARANA

Pendidikan Islam pada masa Rasulullah belum memiliki sarana dan prasarana yang lengkap, kegiatan pendidikan yang pertama berlangsung di Darul Arqam ibn Arqam (sebuah rumah sahabat) dan Kuttab (tempat diselenggarakannya kegiatan belajar membaca dan menulis). Pada saat itu Rasulullah sendiri bertindak sebagai guru dalam mengajar, dan membimbing mereka dalam memahami Al-Qur’an. Selanjutnya setelah hijrah ke Madinah (Yatsrib), maka kegiatan pendidikan dipusatkan di Masjid.
[17]

Masjid pertama yang didirikan kaum muslimin di Madinah adalah masjid Quba. Masjid dalam sejarah pendidikan Islam tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah, tetapi juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan.

Masjid dalam fungsinya sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan memainkan peran yang penting pada periode pertama ini. Sebagai lembaga pendidikan ia merupakan pusat tempat berlakunya proses pendidikan Islam. Di masjid diadakan pembelajaran, baik di dalam masjid itu sendiri maupun disamping masjid dalam bentuk Suffah (tempat tinggal untuk orang-orang fakir miskin yang tekun menuntut ilmu di Madinah) .

Masjid dalam fungsinya sebagai pusat kebudayaan, merupakan markas bagi kegiatan sosial, politik, budaya dan agama. Diantara fungsi masjid sebagai pusat kebudayaan khususnya dalam kehidupan sosial dan politik, yaitu sebagai pusat dalam pelaksanaan urusan kenegaraan seperti tempat dilaksanakannya mubaya’at para khalifah tempat pertemuan dan tempat musyawarah. Fungsi masjid sebagai pusat kebudayaan seperti disebut di muka berkurang pada masa Khilafah (dinasti) Umaiyah, karena para khalifahnya sudah menggunakan istana untuk fungsi tersebut.
[18]

Kegiatan pendidikan Islam pada masa Rasulullah SAW, berjalan sesuai dengan kondisi pada saat itu. Ditinjau dari pelaksanaan pembelajaran, karena kondisi saat itu yang masih sangat sederhana, maka Rasulullah menerapkan sistem halaqah, yang berlangsung di rumah, masjid, dan kuttab. Sistem halaqah adalah sistem melingkar, antara peserta didik lututnya saling bersentuhan, sementara guru pada posisi sentral. Sistem seperti ini bukan saja menyentuh dimensi kognitif peserta didik, akan tetapi juga menyentuh aspek emosional dan spiritual, rasa persaudaraan yang tinggi antar sesama.
[19]

Rasulullah mengoptimalkan potensi-potensi masyarakat Arab yang memiliki kemampuan membaca, menulis dan menghafal yang tinggi. Maka tidak mengherankan setiap kegiatan belajar Rasulullah SAW selalu menekankan ketiga keterampilan tersebut. Sehingga pendidikan Islam pada periode ini telah mencapai kemajuan tidak hanya dalam penguasaan Al-Qur’an dan Al-Hadits tetapi juga pada bidang ilmu yang lainnya seperti dasar berhitung, dasar-dasar ilmu kedokteran, perbintangan, dan ilmu tata bunyi.
[20]

5. PEMBIAYAAN

Karakteristik yang menonjol dari pendidikan Islam pada periode Rasulullah SAW adalah bahwa pendidikan itu diberikan secara cuma-cuma dan merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam untuk mendapatkannya serta dapat mendorong anak didik untuk menggunakan pikiran dan mendorong mereka melakukan penyelidikan Ilahiyah.
[21]

Dalam dunia pendidikan Islam dahulu, semua warga diberikan kesempatan yang sama untuk belajar. Pintu belajar buat mereka terbuka lebar, dimasjid-masjid atau dimana tempat para guru (Rasulullah dan para sahabat) menyediakan hidup mereka untuk ilmu dan pengajaran, tanpa mengharapkan upah atau gaji, tetapi mengajar semata-mata karena mengharapkan keridhaan Allah SWT.
[22]

Pendidikan di masa Rasulullah dilaksanakan negara secara murah, bahkan cuma-cuma untuk seluruh rakyat. Rasulullah pernah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan Perang Badar, para tawanan itu bisa bebas dengan mengajarkan 10 penduduk Madinah dalam baca tulis. Dengan tindakan itu, yakni membebankan pembebasan tawanan ke baitulmal (kas negara) dengan menyuruh tawanan tersebut mengajarkan kepandaian baca tulis, berarti Rasulullh SAW menjadikan biaya pendidikan setara dengan barang tebusan. Artinya, Rasulullah SAW memberi upah kepada pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik baitulmal.

Berdasarkan sirah Nabi SAW dan tarikh Islam, sebagaimana disarikan Dr. Abdurrahman Al-Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, negara menjahmin pendidikan Cuma-Cuma (bebas biaya) dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga melanjutka pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban yang harus dipikul negara. Model pendidikan bebas biaya tersebut berdasarkan ijmak sahabat yang memberi gaji kepada pengajar dari baitulmal dengan jumlah tertentu.

6. PENILAIAN

Dalam menjalankan misi pendidikan, untuk mengetahui tingkat atau kadar penguasaan sahabat-sahabatnya terhadap materi pelajaran, Nabi SAW juga mengevaluasi sahabat-sahabatnya. Dengan mengevaluasi sahabat-sahabatnya, Rasulullah mengetahui kemampuan para sahabat dalam memahami ajaran agama atau dalam menjalankan tugas. Rasulullah sering mengevaluasi hafalan para sahabat dengan cara menyuruh para sahabat membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dihadapannya dengan membetulkan hafalan mereka yang keliru. Rasulullah juga mengevaluasi kemampuan sahabat untuk dijadikan utusan ke suatu daerah mengajarkan agama Islam, misalnya, dialog antara Rasulullah dengan Muadz Ibn Jabal ketika Mu’adz akan diutus sebagai qadi ke negeri Yaman. Evaluasi juga dapat dilakukan dengan cara bertanya tentang suatu masalah hukum secara langsung kepada Rasulullah, lalu Rasulullah menjawabnya.

Sasaran evaluasi Rasulullah sebagai pelaksana perintah Allah sesuai wahyu yang diturunkan kepada beliau lebih menitikberatkan pada kemampuan dan kesediaan manusia mengamalkan ajaran-ajaran Allah, dimana faktor psikomotorik menjadi tenaga penggeraknya. Di samping itu, faktor konatif (kemauan) juga dijadikan sasarannya (konatif-psikomotorik).

Adapun sistem pengukuran (measurement) yang digunakan Nabi sendiri tidak menggunakan sistem laboratorial seperti dalam dunia ilmu pengetahuan modern sekarang. Namun, perinsip-perinsipnya menunjukkan bahwa sistem measurement juga terdapat dalam hadis Nabi. Nabi melakukan pengukuran terhadap prilaku manusia dengan tanda-tanda seseorang yang beriman ialah mencintai orang lain sesama mukmin, seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi sistem pengukuran Nabi terhadap perilaku manusia bukan secara kuantitatif (dengan angka), akan tetapi kualitatif.
[23]

KESIMPULAN

Pendidikan yang diterapkan oleh Rasulullah merupakan pendidikan yang telah berhasil mencapai tujuan utamanya. Terbukti dengan munculnya para sahabat yang ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karena itu, sistem pendidikan yang diterapkan oleh Rasulullah banyak yang masih sangat relevan diterapkan pada era modern sekarang ini. Misalnya, konfigurasi duduk para siswa dalam sistem halaqah, sistem evaluasi, metode pengajaran, dan yang lainnya.

Kedudukan Rasulullah sebagai pendidik ideal dalam pendidikan Islam, dapat dilihat dari peranannya yang sangat luar biasa dalam pengelolaan dan pengembangan sistem pendidikan, meskipun dengan menggunakan sarana dan prasarana yang sangat sederhana, beliau berhasil menelurkan out put yang berkualitas. Dalam waktu yang relatif singkat, bangsa Arab yang pada mulanya hidup dalam kejahiliahan dan kegelapan menjadi negara yang berdaulat, berperadaban tinggi, bahkan telah menghantar bangsa Arab menjadi negara adikuasa terutama fase awal pemerintahan dinasti Abbasiyah.

Metode pendidikan yang diterapkan Rasul bervariasi, sehingga dapat menghilangkan rasa kejenuhan dan kebosanan peserta didik dalam belajar. Metode pendidikan disampaikan sesuai dengan materi yang disampaikan dan peserta didik. Rasulullah menyeleksi materi dan metode pendidikan, dengan materi dan metode yang tepat, sesuai dengan kondisi, situasi, pertumbuhan dan perkembangan psikologis peserta didik, sehingga mengundang minat dan keinginan para sahabat untuk menguasai setiap materi yang disampaikan Rasulullah.

Rumusan kurikulum dan materi pendidikan, sekitar empat belas abad yang lalu, menggambarkan Rasulullah telah menerapkan kurikulum berbasis masyarakat. Hal ini dapat dilihat kebijakan Rasulullah memformulasikan kurikulum dan materi pendidikan yang diberikan pada penduduk Mekkah dan Madinah. Di Mekkah materi pendidikan lebih diorientasikan pada aspek tauhid dan akidah. Hal itu dilakukan karena kondisi masyarakat Mekkah yang baru mengenal Islam dan kondisi geografisnya yang panas, gersang dan tandus. Sementara pendidikan di Madinah lebih diorientasikan pada aspek sosial, keluarga, dan persaudaraan disamping pendalaman materi yang telah disampaikan di Mekkah. Hal ini dilakukan melihat kondisi sosial Madinah yang lebih kondusif, cinta kedamaian, dan kondisi geografisnya yang agraris dan subur.

[1] Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si., Dra. Netty Hartaty, M.Si.,Dra. Zahratun Nihayah, M.Si., Solicha, S.Ag., Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Islam, UIN Jakarta Press, 2005, h. 104
[2] Ibid, h. 107
[3] Prof. DR. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002, h. 284
[4] Prof. Dr. Suwito, MA., Fauzan, MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2005, h. 258
[5] Lihat, Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Penerbit Angkasa Bandung, 1990, cet. Ke 2. h. 31
[6] Prof. Dr.H. Syamsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta : Kencana, 2007, h. 11-12
[7] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Hidakarya Agung, 1989, h. 9-12
[8] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Hidakarya Agung, 1989, h. 17-19
[9] Lebih jelasnya silahkan baca : Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara ; bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departememn agama, 1997, cet. Ke- 5,h. 23-31
[10]Prof. Dr.H. Syamsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta : Kencana, 2007, h. 15
[11] Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 1990.
[12]Prof. Dr.H. Syamsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta : Kencana, 2007, h. 17
[13] Lihat Surat Al-Ahzab, Ayat 21.
[14]Prof. DR. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002, h. 62
[15]Silahkan baca : Prof. Dr. Suwito, MA., Fauzan, MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2005, h. 3-7
[16]Untuk lebih jelasnya lagi, silahkan baca : Prof. Dr.H. Syamsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta : Kencana, 2007, h. 18-21
[17] Silahkan baca : Prof. Dr. Suwito, MA., Fauzan, MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2005, h. 212-214 dan Prof. Dr.H. Syamsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta : Kencana, 2007, h. 7-10
[18] Prof. DR. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002, h.285
[19] dan Prof. Dr.H. Syamsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta : Kencana, 2007, h. 26
[20] Silahkan baca : Prof. Dr. Suwito, MA., Fauzan, MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2005, h. 213
[21]Prof. DR. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002, h.286
[22] Prof. DR. Mohd. ‘Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, h. 22-23
[23] Untuk lebih jelasnya lagi, silahkan baca : Prof. Dr.H. Syamsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta : Kencana, 2007, h. 22-24

24 Januari 2009

DASAR BIOLOGIS DALAM PERUMUSAN
METODE PENGAJARAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Ummi Hj. Zuhriyah

A. Pendahuluan

Di dalam buku yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam yang dikarang oleh Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, dijelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an metode dikenal sebagai sarana yang menyampaikan seseorang kepada tujuan penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi ini, dengan melaksanakan pendekatan dimana manusia ditempatkan sebagai makhluk yang memiliki potensi rohaniah dan jasmaniah, yang keduanya dapat digunakan sebagai saluran penyampaian materi pelajaran. Karenanya, terdapat suatu prinsip umum dalam memfungsikan metode, yaitu prinsip agar pengajaran dapat disampaikan dalam suasana menyenangkan, menggembirakan, penuh dorongan, dan motivasi, sehingga pelajaran atau materi didikan itu dapat dengan mudah diberikan Banyaknya metode yang ditawarkan para ahli sebagaimana di jumpai dalam buku-buku kependidikan lebih merupakan usaha mempermudah atau mencari jalan paling sesuai dengan perkembangan jiwa si anak dalam menerima pelajaran.
Dalam menyampaikan materi pendidikan kepada peserta didik perlu ditetapkan metode yang didasarkan kepada pandangan dan persepsi dalam menghadapi manusia sesuai dengan unsur penciptaanya, yaitu jasmani, akal,dan jiwa yang diarahkan menjadi orang yang sempurna. Karena itu materi-materi pendidikan yang disajikan oleh al-Qur’an senantiiasa mengarah kepada pengembangan jiwa, akal dan jasmani manusia itu, hingga dijumpai ayat yang mengaitkan keterampilan dengan kekuasaan Tuhan, yaitu ayat yang berbunyi : “Dan bukanlah kamu yang melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (Q.S. al-Anfal,8:7).
[1]
Sesungguhnya metode mengajar dalam pendidikan Islam, seperti juga dengan kurikulumnya dan segala yang bersangkut-paut dengannya, mempunyai dasar-dasar dan sumber-sumber yang umum yang diatasnya ia berdiri dan daripadanya ia memperoleh unsur-unsur, tujuan-tujuan, matlamat-matlamat dan prinsip-prinsipnya. Dasar-dasar dan sumber-sumber umum ini tidak banyak berbeda dari dasar-dasar umum yang berkenaaan dengan tujuan-tujuan dan kurikulum pendidikan Islam. Ini menggambarkan bahwa tujuan pelajaran, kurikulum, metode mengajar adalah bagian-bagian dan mata rantai yang berkaitan dan bertalian dalam proses pendidikan.
Menurut beberapa ahli, salah satu aspek yang paling banyak dibincangkan dalam dunia pendidikan adalah mengenai pertumbuhan dan perkembangan. Mereka beranggapan bahwa hidup manusia ini, semenjak lahir sampai meninggal, terdiri dari berbagai tahap perkembangan.
Di dalam merumuskan metode pengajaran dalam pendidikan Islam, perlu memperhatikan juga aspek pertumbuhan dan perkembangan pribadi siswa, bukan saja pertumbuhan dan perkembangan dari segi individu, tetapi jiwa dan psiko sosial.
Pembuat- pembuat kurikulum dan guru-guru haruslah mengetahui teori-teori pertumbuhan dan perkembangan ini agar ia dapat menyuguhkan berbagai aspek pengetahuan yang sesuai dengan tahap perkembangan kanak-kanak.
[2]

B. Pengertian Dasar Biologis

Dasar biologis bermakna sekumpulan kekuatan dan ciri-ciri jasmaniah yang mempengaruhi tingkah laku pelajar pada proses belajarnya.
Perkembangan biologis manusia, mempunyai pengaruh dalam perkembangan intelektualnya.
Sehingga semakin lama perkembangan biologis seseorang, maka dengan sendirinya makin meningkat pula daya intelektualnya. Dalam memberikan pendidikan dan pengajaran dalam pendidikan Islam, seorang pendidik harus memperhatikan perkembangan peserta didik.
Perkembangan jasmani (biologis) seorang juga mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap dirinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan jasmani dan kondisi jasmani itu sendiri, memegang peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan, sehingga dalam menggunakan metode pendidikan seorang pendidik harus memperhatikan kondisi biologis peserta didik. Seorang peserta didik yang cacat akan berpengaruh terhadap prestasi peserta didik, baik pengaruh positif maupun negatif. Hal ini memberikan hikmah dari penciptaan Tuhan, maka dengan harapan besar pendidik dapat memberikan pengertian secukupnya pada peserta didiknya untuk menerima penciptaan Allah yang sedemikian rupa.
[3]
Di dalam buku yang berjudul Fisafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangannya, karangan M.al-Toumy al-Syaibany mengemukakan bahwa dasar biologis meliputi pertimbangan kebutuhan jasmani dan tingkat perkembangan usia anak didik.
Adapun tentang dasar biologis maka adalah kewajiban guru untuk memelihara dalam metode teknik pengajarannya, ciri-ciri kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, dan tahap kematangan murid-muridnya. Ia harus memperhitungkan bahwa murid-murid itu mempunyai kebutuhan bilogis yang harus dipuaskan dan dipenuhi supara tercapai penyesuaian jasmani, psikologis dan sosial yang sehat.
Sebagaimana menjadi kewajiban guru juga dalam metode kurikulum dan proses pengajaran keseluruhannya bahwa ia memelihara kematangan jasmani murid-muridnya. Jika ia ingin melatihnya dalam suatu keterampilan yang bertalian dengan jasmani maka haruslah ia memelihara tahap kematangan segi jasmani yang berkaitan dengan keterampilan yang ingin dipelajarinya, misalnya kematangan otot jari-jari berkenaan dengan belajar menulis, kematangan otot-otot mata untuk belajar membaca, sebab telah ditunjukkan oleh kajian-kajian pertalian keterampilan-keterampilan ini dengan tahap kematangan segi-segi jasmani yang berhubungan dengannya.” Latihan untuk menghafal sesuatu perlu kepada pemusatan yang berhubungan rapat dengan kematangan urat saraf. Juga telah diketahui bahwa kekuatan memusatkan perhatian dan jaraknya berpadan secara terbalik sesuai dengan lanjutnya umur dan sempurnanya kematangan.”
[4]
Di samping itu, ada beberapa prinsip umum yang menjadi dasar metode mengajar dalam pendidikan Islam, di antaranya adalah pentingnya menjaga motivasi pelajar, kebutuhan, minat, dan keinginannya pada proses belajar, supaya ia dapat menjamin sikap positif pelajar dan kesukaannya kepada pelajaran. Wajiblah dipadukan oleh pendidik antara tarikan dan kekerasan (persuation & determination), supaya jiwa kanak-kanak tidak menjadi lemah, dan jangan ia dipaksa supaya jangan marah.
Ali r.a. berkata : “Didalam hati itu ada syahwat, sifat ingin dan benci. Datangilah ia sewaktu ia sedang ingin. Sebab kalau hati dipaksa ia akan jadi buta.”
[5]
Yang dimaksud disini adalah, seorang pendidik harus memahami metode pengajaran yang sesuai dengan memperhatikan keadaan peserta didiknya ketika sedang mengajar, agar pengajaran tersebut dapat diterima dengan baik oleh peserta didik.
Selanjutnya adalah perlunya pendidik mengetahui perbedaan-perbedaan dan kelainan ciri-ciri dan kelebihan-kelebihannya. Sehingga ia dapat menjaga perbedaan-perbedaan atau kelainan-kelainan yang terdapat di antara pelajar-pelajar dalam segala bentuk pertumbuhan dan segi-segi kehidupan mereka pada proses-proses pengajaran dan pada cara-cara meladeni pelajar-pelajar tersebut.
Tidak dapat tidak seorang pendidik harus mengakui adanya dan harus menjaganya dalam metode dan cara-cara mengajarnya jika ia ingin supaya ia sesuai dengan dengan naluri (fitrah) dan kenyataan dan agar supaya ia berjaya pada apa yang ditujunya.
[6]

C. Periode Perkembangan Anak Didik

Berdasarkan pertimbangan periode perkembangan anak didik, Nabi mengemukakan cara mendidik yang baik. Beliau menyatakan : “ Didiklah anak-anakmu dengan cara bermain-main pada usia tujuh tahun pertama, dan tanamkanlah disiplin kepada mereka pada tujuh tahun berikutnya, kemudian ajaklah mereka berdiskusi saat mereka mencapai periode usia tujuh tahun yang ketiga, dan selanjutnya barulah mereka dapat dilepaskan untuk menentukan sikap hidupnya secara mandiri.
Pernyataan ini memberi pengertian bahwa metode pendidikan didasarkan atas pertimbangan tingkat usia anak didik.
Di usia 0;0-7;0, metode pendidikan yang terbaik adalah dengan memperlakukan anak didik secara lemah lembut dan kasih sayang. Di usia 7;0-14;00, caranya diubah dan dimulai ditekankan kearah pembentukan disiplin. Sedangkan di usia berikutnya, 14;00-21;0, cara yang tepat adalah berdiskusi, bertukar fikiran dengan anak didik.
Di usia ini anak didik dibimbing untuk berfikir kritis, memecahkan masalah yang dihadapinya dan dibantu untuk mencari jalan pemecahannya. Akhirnya setelah menginjak periode usia dewasa (21;0) barulah anak didik dibiarkan untuk mandiri.
[7]
Metode seperti itu mungkin dapat dijadikan bagian dari dasar penyusunan metode pendidikan Islam. Hal tersebut dapat kita artikan bahwa, pendidikan Islam dari zaman ke zaman banyak menyimpan khazanah mengenai cara-cara mendidik yang tepat digunakan untuk menyampaikan sesuatu materi tertentu secara tepat, sehingga tujuan yang diprogramkan dapat dicapai.
Dalam pembahasan tentang hubungan antara konsep Islam, manusia dan metafisika pendidikan dikemukakan ada lima dasar, diantaranya salah satunya adalah pertumbuhan pikiran dan kemampuan anak didik menjadi pertimbangan dalam perumusan kurikulum dan mata pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangannya masing-masing. Dengan demikian perkembangan kepribadian yang meliputi aspek spiritual, moral, intelektual, imajinatif dan emosional serta aspek jasmaniah tidak terabaikan.
[8]
Abu Al-Hassan Al-Qabisy berkata kepada orang yang bertanya kepadanya tentang penggunaan cara kumpulan dalam menghafal Al-Qur-an :
“ Saya bertanya perlukah anak-anak kecil atau orang-orang dewasa membaca dalam satu surah sebagai kumpulan. Kalau engkau ingin mereka berbuat demikian didepan guru, maka patutlah guru menengok pada apa yang lebih baik bagi proses belajar mereka, maka diperintahnya berbuat demikian dan mengajar mereka dalam hal itu. Sebab berkumpulnya mereka membaca didepannya menutupi hafalan orang lemah sebab adanya orang yang kuat hafalan. Tetapi kalau terhadap kanak-kanak maka ia memberitahukan mereka bahwa setiap mereka menghafal dalam kumpulannya.”
[9]
Menurut An-Nahlawi, sistem perkembangan kurikulum hendaknya selaras dengan fitrah insani sehingga memiliki peluang untuk mensucikannya, dan menjaganya dari penyimpangan serta menyelamatkannya. Demikian juga pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik maupun unisitas (kekhasan) terutama karakteristik anak-anak, dan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).
[10]
Selanjutnya An-Nahlawi pun menyebutkan keriteria yang lain : “ Hendaknya metode pendidikan/pengajaran dalam kurikulum bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan dengan berbagai situasi dan kondisi serta perbedaan individual, minat serta kemampuan siswa untuk menangkap dan mengolah bahan pelajaran.” [11]
Hendaknya para pendidik tidak berpedoman pada satu metode pengajaran saja, tetapi ia harus dapat memahami metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didiknya.

D. Memilih Metode Yang Dipergunakan Dalam Pengajaran

Imam Al-Ghazali mengisyaratkan dengan ucapannya : “ Seorang guru hendaklah membatasi dirinya dalam bicara dengan anak-anak sesuai dengan daya pengertiannya, jangan diberikan kepadanya sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh akalnya, karena akibatnya ia akan lari dari pelajaran atau akalnya akan memberontak terhadapnya. Isyarat ini adalah sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad s.a.w. yang bersabda :
"Kami para nabi-nabi diperintah untuk menempatkan seseorang pada posisinya, berbicara dengan seseorang sesuai dengan akalnya “.
Menurut Imam Al-Ghazali, metode yang dipergunakan dalam mengajar anak-anak berlainan dengan metode yang dipakai untuk mengajar orang-orang yang lebih besar. Imam Al-Ghazali telah menyarankan dipakainya metode ini oleh karena antara anak kecil dan yang besar terdapat perbedaan tanggapan. Imam Al-Ghazali berkata : “ Kewajiban utama dari seorang juru didik ialah mengajarkannya kepada anak-anak apa-apa yang gampang dan mudah dipahaminya, oleh karena masalah-masalah yang pelik akan mengakibatkan kekacauan pikiran dan menyebabkan ia lari dari ilmu.”
[12]
Di dalam mempergunakan metode pengajaran ini, Ibnu Khaldun pun berpendapat demikian dan ia pun berkata:
“ Banyak dari guru-guru yang kita lihat dewasa ini yang tidak mengerti cara mengajar dan memanfaatkan pelajaran. Mereka pada permulaan saja telah memberikan masalah-masalah yang sulit-sulit kepada murid-murid dan meminta kepada murid-murid itu untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, dan mereka anggap cara itulah yang sebaik-baiknya untuk melatih anak-anak dan cara itulah yang benar. Kemauan dan kesediaan menerima ilmu itu adalah sesuatu yang datang secara berangsur-angsur “.
Imam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun serta lain-lain failusuf pendidikan Islam sependapat bahwa cara pemikiran anak-anak berbeda dari cara pemikiran orang besar, dan hal ini terus diperhatikan dalam mengajar. Pendapat-pendapat ini tergolong pendapat-pendapat penting dalam dunia pendidikan modern di abad -20 sekarang ini.
Anak-anak membutuhkan hal-hal yang dapat dirasa yang ada hubungannya dengan lingkungan hidupnya, bahan-bahan yang mudah dimengerti, sedang sebaliknya orang-orang besar dapat mengerti hal-hal yang bersifat abstrak (tidak kelihatan) yang sesuai dengan logika dan mantiq.
[13]
Kita bisa melihat pada pendidikan modern sekarang ini, menyarankan apa yang telah disuarakan oleh Rasulullah s.a.w. di dalam menghadapi orang-orang sesuai dengan akal mereka, dengan memperhatikan tingkat kecerdasan dan tingkat kemampuan mereka. Sehingga mereka dapat mengerti hal-hal yang mereka hadapi atau masalah yang dipelajari.

E. Mendidik Anak-Anak Secara Halus

Sebelum Islam, sistem pendidikan yang dipakai terhadap anak-anak ialah sistem keras dan kasar, dimana-mana sekolah terdapat cambuk, dimana-mana terdapat hukuman yang kejam. Akan tetapi para failusuf Islam kemudian memperingatkan akan bahayanya sistem ini dalam pendidikan, dan mereka telah melarangnya penggunaan cambuk dan hukuman kejam dan sebaliknya menyarankan cara-cara lunak lembut, membenarkan kesalahan-kesalahan anak-anak dengan jiwa yang halus,lunak, lembut dan kasih sayang serta menyelidiki pula latar belakang yang menyebabkan kekeliruan-kekeliruan tersebut dan berusaha untuk memahaminya serta menyatakan kepada anak-anak akibat-akibat kekeliruan tersebut. Dengan demikian mereka menjalani suatu bentuk pendidikan yang ideal serta memberantas cara-cara yang kasar dan keras dalam pendidikan serta dianggap membunuh cita-cita, penumpul kepintaran dan selanjutnya membawa kepada kehinaan, penipuan dan rasa rendah diri. [14]
Seiring dengan perkembangan zaman, posisi anak didik telah mengalami perubahan. Dari yang tadinya hanya sebagai objek menjadi objek dan juga sekaligus subjek dengan arti bahwa pada setiap proses pengajaran/pendidikan mereka juga harus dilibatkan untuk memecahkan masalah.
Dalam Islam pembahasan tentang peserta didik dijelaskan dalam al-Qur’an dalam perspektif penciptaan manusia, yang berarti memposisikan anak didik sebagai manusia yang memiliki kodrat kefitrahannya. Untuk memahami anak didik tidak dapat dipisahkan dari konsep tentang hakikat manusia. Artinya seorang anak didik dilihat sebagai “seorang manusia “.
[15]

F. KESIMPULAN

Pendidik adalah individu yang mampu melaksanakan tindakan mendidik dalam satu situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Individu yang mampu itu adalah orang dewasa yang bertanggung jawab, sehat jasmani dan ruhani, mampu berdiri sendiri dan mampu menanggung risiko dari segala perbuatannya. Kesediaan dan kerelaan untuk menerima tanggung jawab itulah yang pertama dan utama dituntut dari seorang pendidik. Yang dimaksud dengan pendidikm di sini adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan ruhaninya, agar mencapai tingkat kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial, dan makhluk individu yang mandiri.
Pendidik bertugas sebagai medium agar anak didik dapat mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Tanpa pendidik, tujuan pendidikan manapun yang telah dirumuskan tidak akan dicapai oleh anak didik. Agar pendidik berfungsi sebagai medium baik dalam menjalankan tugas kegiatan pendidikan, maka ia harus melaksanakan beberapa peranan yang diperlukan sebagai berikut :
Ia wajib menemukan pembawaan pada anak didiknya dengan jalan observasi, wawancara, pergaulan, angket dan sebagainya.
Ia wajib berusaha menolong anak didik dalam perkembangannya. Agar pembawaan buruk tidak dapat berkembang dengan subur mendekati kemungkinannya, dengan menyiapkan lingkungan yang diperlukan.
Ia wajib menyajikan jalan yang terbaik dan menunjukkan perkembangan yang tepat. Pendidik adalah orang yang berpengalaman dalam menghadapi liku-likunya jalan dan mengetahui kemungkinan sesatnya jalan yang menimbulkan tidak tercapainya tujuan yang diinginkan.
Ia wajib setiap waktu mengadakan evaluasi untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik dalam usaha mencapai pendidikan sudah berjalan seperti yang diharapkan.
Ia wajib memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada anak didik pada waktu mereka menghadapi kesulitan dengan cara yang sesuai dengan kemampuan anak didik dan tujuan yang akan dicapai.
Dalam menjalankan tugasnya, pendidik wajib selalu ingat bahwa anak sendirilah yang berkembang berdasarkan bakat yang ada padanya. Pendidik tidak dapat mengubahnya, maupun berusaha mengembangkan bakat yang ada pada anak didik.
Pendidik senantiasa mengadakan penilaian atas diri sendiri untuk mengetahui apakah hal-hal tertentu dalam diri pribadinya yang harus mendapatkan perbaikan.

Pendidik perlu memilih metode atau teknik penyajian yang tidak saja disesuaikan dengan bahan atau isi pendidikan yang akan disampaikan namun sesuai dengan kondisi anak didiknya. Karena anak didik ini berbeda-beda sifatnya, maka penggunaan metode penyajian yang hanya menggunakan satu macam, sudah jelas tidak memadai dan tidak memberikan manfaat banyak dalam mencapai tujuan pendidikan.
Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi perkembangan mental. Setiap individu memerlukan bantuan dan perkembangan pada tingkat yang sesuai dengan tugas perkembangan anak didik. Dan karena secara kodrati peserta didik itu berbeda, maka pendidikan yang dilakukan harus sesuai dengan perkembangan tiap-tiap peserta didik pada tiap tingkat perkembangan sehingga pendidikan yang diberikan tepat dan berdaya guna. Karena ketepatan memilih metode penyajian merupakan faktor yang sangat menentukan. Dan karena setiap peserta didik mempunyai pembawaan dan potensi yang berbeda, pendidik wajib berusaha untuk mengetahui pembawaan masing-masing anak didiknya agar layanan pendidikan yang diberikan sesuai dengan keadaan masing-masing.

[1] Baca, Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005 ). h. 146
[2] Lihat. Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, ( Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1987 ), cet.II
[3] Baca, Ramayulis,Prof,DR, Metodologi Pendidikan Agama Islam, ( Jakarta: Kalam Mulia, 2005), h. 7
[4] Lihat, Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Prof.DR, Falsafah Pendidikan Islam , ( Jakarta : Bulan Bintang, 1979 ) cet.I, h.589-590
[5] Ibid, hal. 595
[6] Ibid, hal. 601
[7] Baca, Jalaluddin,DR & Usman Said, Drs, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996 ) h. 54-56
[8] Ibid, h. 168
[9] Lihat, Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Prof.DR, Falsafah Pendidikan Islam , ( Jakarta : Bulan Bintang, 1979 ) cet.I, h. 602
[10] Baca, Samsul Nizar, DR,MA, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, ( Jakarta : Ciputat Pers, 2002 ) h. 59
[11] Ibid, h. 60
[12] Baca, Mohd. ‘Athiyah Al-Abrasyi, Prof. DR, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam,
( Jakarta : Bulan Bintang ) h. 25
[13] Ibid, h. 26
[14] Ibid, h. 32
[15] Baca, Fadhilah Suralaga, Dra. M.Si, Nety Hartaty, Dra. M.Si, Zahratun Nihayah, Dra. M.Si, Solicha, S.Ag, Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Islam, ( UIN Jakarta Press, 2005 ) Cet. I , h. 112